Thursday, January 25, 2007

FLU BURUNG dll

Petaka Sodom dan Gomora
Oleh: F Rahardi

Flu burung (avian influenza, AI) tiba-tiba menjadi hantu yang sama menakutk
an dengan AIDS. Inilah kutukan dari Sodom dan Gomora modern.

Agroindustri unggas modern sebenarnya telah menentang alam, sekaligus
menantang hukum Allah. Itulah yang harus diubah, bukan hanya sekadar
restrukturisasi menyangkut pembagian kapling.

Flu sebenarnya merupakan penyakit lama. Ada tiga tipe virus influenza: tipe
A yang bisa menyerang hewan maupun manusia dan tipe B serta C yang hanya
bisa menyerang manusia. Virus tipe A masih terdiri atas beberapa subtipe,
yakni H (1-15) dan N (1-9). AI sendiri sudah terdeteksi sejak 1978 di
Italia, tetapi AI subtipe baru dengan virus H5N1 pertama kali terdeteksi di
Hongkong tahun 1997. Sejak itu, flu burung menjadi mirip AIDS, menimbulkan
gejolak atas bisnis perunggasan, sekaligus mengancam hidup manusia.

Ketika AI menyerang unggas, virus ini belum menjadi wabah yang mendunia.
Agroindustri perunggasan lalu menjadi massal dan mendunia, dengan benih
(DOC/DOD), pakan, hormon pertumbuhan, antibiotik, dan obat-obatan dalam
dosis tinggi secara intensif. Inilah pemicu utama terciptanya virus subtipe
baru. Terlebih setelah agroindustri peternakan hanya mementingkan
keuntungan, tanpa memikirkan dampak negatif yang ditimbulkan.

Wabah sapi gila di Inggris juga kutukan. Virus penyakit gila ini sebenarnya
hanya berjangkit pada domba, dan tidak pernah menjadi wabah. Namun,
agroindustri peternakan di Inggris terlalu rakus. Limbah dari rumah potong
hewan, terutama tulang-tulang- terdiri tulang domba, kambing, sapi, babi,
dan ternak lain-digiling dan dicampurkan ke konsentrat. Tujuannya adalah
efisiensi. Dampaknya, terjadi degradasi genetik dan penularan penyakit.
Penyakit gila yang sebelumnya hanya menyerang domba berjangkit pula ke
sapi.

"Nuggets" dan sosis tulang
Pada agroindustri perunggasan, terutama ayam petelur, yang akan dipelihara
hanyalah DOC betina. DOC jantan harus dibuang. Jika DOC jantan diberikan
kepada ikan, dampak negatifnya hampir tidak ada. Namun sekali lagi demi
efisiensi, DOC jantan langsung dimasukkan ke penggilingan dan dicampurkan
ke pakan. "Kanibalisme" inilah antara lain yang telah mengakibatkan
degradasi genetik, sekaligus ikut berperan memicu terciptanya virus AI
subtipe baru.

Namun itu semua belum terlalu mengerikan. Kini, tampaknya konsumen kurang
jeli melihat (atau tidak menduga) sosis (sapi dan ayam), nuggets (ayam),
dan kornet (sapi), yang dikonsumsi, sebenarnya bukan dari daging, tetapi
limbah tulang-belulang. Limbah rumah pemotongan hewan dan rumah pemotongan
ayam selalu menghasilkan limbah berupa tulang keras, tulang rawan, sumsum,
urat, dan sedikit daging yang masih melekat. Tulang kerasnya dipisahkan dan
disebut MBM atau meat and bone meal. Ini merupakan bahan campuran industri
pakan ternak, termasuk unggas.

Tulang rawan, urat, sumsum, dan daging disebut meat and debone meal (MDM).
Produk inilah yang semula menjadi bahan campuran industri sosis, kornet,
dan nuggets. Kini, MDM menjadi bahan utama makanan pabrik itu. Terlebih
dalam sosis ayam. Yang dimaksud MDM unggas sebenarnya semua limbah ayam
digiling, sebab sekeras apa pun tulang ayam masih amat lunak untuk menjadi
sosis dan nuggets. Kita tidak pernah diberi tahu oleh Asosiasi Produsen
Makanan Olahan Daging (National Association Meat Producer = NAMPA), berapa
persen sebenarnya kandungan MDM pada tiap sosis dan nuggets. Jangan-jangan
sudah 100 persen.

Pola industri ternak seperti ini sebenarnya sudah melawan hukum alam,
sekaligus hukum Allah. Sapi dan domba aslinya herbivora. Dalam industri
modern mereka dipaksa menjadi karnivora, bahkan kanibal. Unggas makan
biji-bijian dan kadang serangga serta cacing. Tetapi mereka tidak pernah
kanibal. Bahkan elang dan gagak yang karnivora pun tidak pernah kanibal.
Tetapi manusia telah memaksa ayam dan itik menjadi kanibal. Bahkan DOC,
anak ayam yang baru menetas pun, harus kembali digiling untuk dimakan oleh
induk-induk mereka. Ini sudah lebih sadis dibanding kisah Sodom dan Gomora.


Limbah dari AS
Rakyat AS relatif cerdas dalam melihat "penyimpangan" atas hukum alam ini.
Selain cerdas, mereka kaya. Itu sebabnya mereka tidak menyantap bagian lain
dari ayam, kecuali daging dada. Kulit, daging paha, daging sayap, hati,
ampela, tabu disantap. Apalagi kepala, leher, pantat, dan ceker. Semua itu
harus dibuang. Lembaga konsumen AS juga ketat hingga limbah itu tidak bisa
digiling begitu saja dan dijadikan pakan. Kasus sapi gila di Inggris
membuat rakyat AS lebih waspada.

Ke manakah limbah yang masih layak makan itu dibuang? Tentu ke negara yang
penduduknya banyak dan ekonominya lemah. Sasaran utama membuang paha dan
sayap ayam adalah RRC, India, dan Indonesia. MDM hasil penggilingan limbah
unggas juga dibuang ke negara berkembang dan negara miskin. Untuk sarana
pembuangan, kota-kota besar di negara berkembang siap dengan restoran cepat
saji dan pasar swalayan. Saat memungut sosis ayam dan nuggets, ibu-ibu
pasti tak pernah membayangkan, bahan utama produk itu bukan daging, tetapi
limbah.

Sebenarnya pemerintah harus mulai memperkuat agroindustri perunggasan
tradisional peternakan itik sebagai penyeimbang. Kelembagaan peternakan
rakyat ini sebenarnya sudah amat kuat. Hanya alokasi modal dan fasilitas
lain tidak pernah tertuju ke mereka, sebab mereka bukan pengusaha yang
punya kapling dalam Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (Gappi). Jika
para peternak itik yang sudah massal pun tak tersentuh perhatian
pemerintah, ayam kampung lebih tak terperhatikan lagi. Rakyat memang harus
tabah dalam menerima petaka Sodom dan Gomora modern berupa wabah flu
burung.

F Rahardi Wartawan; Penyair
OPINI, Kompas, Jumat, 19 Januari 2007, halaman 6

No comments: